This is my planet. Please visit and follow if you like it. Thank you and God bless :)
RSS

Sewindu yang Lalu

     Baju pramuka, baju putih biru dengan badge PMR, syal PMR, topi PMR, sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, handuk, senter, obat-obatan pribadi. Yup rasanya sudah semua. Check list barang bawaan yang sengaja kubuat beberapa hari sebelumnya juga sudah tercontreng semua, itu tandanya
aku harus segera menutup ranselku dan bergegas untuk tidur.
     Malam memang belum begitu larut, namun rasanya malam ini aku ingin tidur lebih awal karena esok dan beberapa hari ke depan akan menjadi hari yang melelahkan sekaligus bisa jadi menyenangkan. Sambil menyanyikan lagu favorit, kututup ransel hitam itu. Kusempatkan berbincang dengan Tuhan terlebih dahulu sebelum akhirnya kupejamkan mataku.

23 Januari 2008
     Beberapa mobil besar sudah berjajar rapi di depan sekolahku. Semua orang sibuk dan tampak hectic ketika memindahkan barang bawaan ke mobil. Beberapa ada yang memastikan apakah semua barang bawaan sudah dipindahkan dan ditata di mobil dengan baik atau belum, bahkan ada juga yang sibuk sendiri. Ketika semua barang bawaan sudah dipindahkan, kini secara bergantian satu per satu orang naik ke jajaran mobil  itu sesuai dengan pembagian yang ditetapkan sebelumnya. Aku semobil dengan teman-teman dari kelas VII calon kader PMR Madya lainnya. Ya..sebenarnya ini adalah acara perkemahan wajib untuk kakak-kakak kelas VIII. Hanya beberapa dari kelas VII yang diikutsertakan, yang nantinya akan bertugas sebagai tim kesehatan dan akan menjalani prosesi pelantikan kader PMR Madya yang baru.
    Brrrmmm..Brrrrmmm..suara mesin menderu-deru, roda mobil-mobil besar ini mulai berputar membawaku dan semua peserta ke tempat perkemahan itu. Menurut informasi tempat perkemahan yang kami tuju adalah sebuah desa yang cukup terpencil, berada di bawah kaki gunung, merupakan tempat bersejarah dan keramat, di sana terdapat batu dengan pola seperti anyaman bambu yang sudah ada sejak tahun 1962. Wow…cukup menarik bukan. Entah mengapa dari dulu aku memang menyukai suasana pedesaan, hutan, dan semua yang berhubungan dengan alam. Oh ya satu lagi aku suka hal-hal horror dan mistis karena hal-hal itu selalu berhasil membangkitkan adrenalin dan rasa penasaranku hehehe.
     Satu jam berlalu, tibalah rombongan kami di tempat tujuan. Dengan pasti kulangkahkan kakiku keluar dari mobil. Hamparan rumput yang luas terbentang di depanku, tak jauh dari situ deretan pohon pinus tinggi berjajar rapi, dibalik pohon-pohon pinus terlihat bukit-bukit dan gunung yang indah. Semua tampak hijau, langit terlihat biru muda, matahari bersinar cerah, tak mau ketinggalan hewan-hewan hutan turut bersuara, terdengar saling bersahutan antara satu sama lain. Selama beberapa detik aku terhipnotis dengan suasana itu. Tanpa sadar kupejamkan mataku, menarik napas panjang, mengeluarkannya dan perlahan kubuka mataku. “Ya Tuhan..inikah wonderland?”
     Sim salabim…hamparan rumput hijau di depanku kini telah berubah, warnanya tak lagi hijau, tenda-tenda yang mengelilinginya membuatnya lebih berwarna. Tepat di tengah terdapat tumpukan kayu bakar, dan tak jauh dari situ bendera merah putih dan bendera pramuka berkibar. Acara perkemahan resmi dibuka. Rangkaian kegiatan selama beberapa hari ke depan sepertinya akan cukup melelahkan. Tapi jika berada di wonderland seperti ini, kurasa takkan ada lagi kata lelah di kamusku.
     Senja datang, matahari mulai terbenam membiaskan warna indah kuning kecokelatan. Aku keluar dari tenda bersama beberapa temanku. Dengan membawa peralatan mandi, kami berlari kecil menuju sumber mata air terdekat yang telah dirubah menjadi “Luxurious Bathroom, kamar mandi dari tenda”. Karena dikejar waktu, dengan cepat kami segera masuk ke “kamar mandi” itu. Ketika kami masuk ada tiga orang anak perempuan di dalamnya. Anak-anak dengan pakaian biasa, tak berseragam. Anak paling kecil berkulit sawo matang dengan rambut keriting sebahu berwarna kemerahan, membawa timba kecil berisikan peralatan mandi, anak yang satunya tampak lebih tinggi dari anak yang paling kecil, kulitnya kuning langsat, rambutnya berwarna kemerahan, lurus terurai menutupi telinganya, dia membawa 3 buah handuk mandi, dan satu orang anak lainnya dia membawa 3 pakaian, posturnya paling tinggi, rambutnya keriting sebahu berwarna kemerahan, kulitnya kering, sawo matang. Jika di lihat usianya lebih tua dariku. Kehadiranku dan teman-temanku sepertinya mengagetkan mereka dan membuat mereka jengkel.
Aku : “Maaf mengganggu kalian, bisakah kalian keluar terlebih dahulu, aku bersama teman-temanku mau mandi duluan, kami dikejar waktu soalnya. Boleh kan kami mandi duluan?”
Anak perempuan yang membawa 3 pakaian: “Dasar gak tau diri ya. Aku dan adik-adikku sampai di sini duluan. Harusnya kami yang mandi duluan. Tapi apa, kamu dan teman-temanmu menyuruh kami untuk pergi dari sini dan melarang kami mandi di sini? Kami tahu ini memang tenda kalian, tapi bukan berarti kalian bisa mengusir kami seenaknya. Sebelum kalian datang, tempat ini adalah tempat mandi kami, kami bebas mandi di sini, tapi sekarang setelah kalian datang semuanya berubah. Kalian mengambil kebebasan kami. Kalian siapa berani ngusir kami? Ini desa kami bukan desa kalian. Kalian di sini bisanya cuma merusak. Kalau mau lapor ke pak Lurah laporin aja, aku gak takut. Aku malah senang kalau kalian cepat pergi dari desa ini”.
     Segera setelah mengucapkan kata-kata itu dia mengajak kedua orang adiknya pergi. Sayup-sayup kudengar umpatan dari mulutnya dan sempat kulihat tatapan matanya sebelum pergi, sungguh penuh kebencian. Aku tak tahu kesalahan apa yang ada dalam ucapanku sehingga responnya  seperti itu. Entahlah..sepertinya ini akan menjadi PR baru untukku. Berusaha mendekati mereka, meminta maaf kepada mereka, dan mengenal mereka.

24 Januari 2008
     Hari kedua di Wonderland. Hari ini akan menjadi hari super padat dan super sibuk. Semua acara inti ada di hari ini, mulai dari penjelajahan, prosesi pelantikan Kader PMR Madya, api unggun, pentas seni dan lain-lain. Oke..aku harus tetap semangat dan menjalaninya dengan senyuman. Ya meskipun kemarin senyum meterku sempat menurun karena insiden bersama 3 orang anak tengil di sungai itu. Tapi hari ini harus lebih semangat dari kemarin, senyumku gak boleh sampai pudar hanya karena masalah sepele seperti itu, dan satu hal lagi hari ini PR ku harus terselesaikan dengan baik.
     “Disini senang disana senang dimana-mana hatiku senang, di sini senang disana senang dimana-mana hatiku senang la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la..”Drap…drap..drap..drap.. nyanyian, suara langkah kaki, suara tongkat pramuka menyentuh tanah meramaikan wonderland hari itu. Para penjelajah telah berhasil menjalankan misi mereka. Aku juga telah berhasil menyelesaikan tugasku dengan baik. Bersyukur sekali akhirnya aku bersama teman-temanku  telah resmi menjadi Kader PMR Madya yang baru.
     Sebagai manusia biasa setelah melakukan kegiatan tentunya ada rasa lelah yang menyerbu, karena itu usai prosesi pelantikan aku dan teman-temanku segera kembali ke tenda, melepaskan lelah di sana dengan makan bekal bersama. Di dalam tenda semuanya sibuk mengeluarkan bekal mereka. Ada jeruk, salak, buah buahan dari kebun, makanan ringan dan masih banyak lagi. Sama halnya seperti mereka aku juga mengeluarkan bekalku. Tak lama setelahnya, aku pergi ke belakang tenda untuk mengambil tempat sampah dan merapikan perlengkapan lain yang masih berserakan di sana. Ketika itu mataku melihat sesuatu di balik pohon besar yang letaknya tak jauh dari tendaku. Sesosok anak perempuan kecil yang tidak asing, oh ya aku ingat, dia anak perempuan yang kemarin kutemui di sungai, anak yang paling kecil. Dari balik pohon besar itu kulihat dia sedang mengamati aktivitas yang ada di dalam tendaku dari kejauhan, sepertinya dia penasaran, atau ada motif lainnya. Entahlah...yang jelas  setelah menganalisa gerak-gerik anak itu dan mencoba menerka apa yang sebenarnya dia inginkan, segera kuambil 3 buah jeruk dari dalam tendaku.
Aku: “Teman-teman aku ambil 3 jeruknya ya. Makasih”
Salah seorang temanku: “Iya ambil aja..buat apa tapi kok banyak?”
     Waktu itu tak kugubris pertanyaan temanku karena aku tahu ini adalah kesempatan langka, jika aku tak bertindak cepat bisa jadi rencanaku gagal, PR ku tak terselesaikan. Lagipula besok aku akan pergi meninggalkan wonderland. Kembali ke rutinitasku sebagai seorang siswi SMP. Aku ingin semuanya selesai hari ini. Pokoknya aku ingin ending dari perkemahan ini berakhir indah. Tak ada kebencian, tak ada permusuhan. Perlahan kudekati anak perempuan itu. Dia sepertinya tak menyadari kalau aku berhasil memergokinnya dan tak sadar kalau posisiku semakin dekat dengannya.
Aku: “Dek..dek..disini ngapain, siapa namamu ?”
Anak perempuan kecil: “A..Ani mbak..”
Aku: “Oh Ani ya. Aku Sisca. Aku tau kamu dari tadi melihat ke sana terus. Kamu mau ini ya?”
Ani: “Enggak mbak..”
Aku: “Udah gak usah takut sama mbak, ini ambil semua jeruknya nya. Bagikan ke kakak-kakakmu juga.”
     Kupegang tangan Ani dan kuberikan 3 buah jeruk itu kepadanya. Dia menatapku dengan penuh kepolosan dan tersenyum. Namun itu tak berlangsung lama, ekspresinya mendadak berubah. Sepertinya dia melihat sesuatu di belakangku. Aku pun segera menolehkan kepalaku ke belakang, ternyata 2 orang anak perempuan lainnya sudah berada tepat di belakangku.
Aku: “Hai kalian. Kenalkan aku Sisca. Ini aku punya jeruk buat kalian bertiga, sekarang jeruknya ada di Ani. Kalian makan jeruknya ya.”
Anak perempuan paling tinggi: “Gak usah sok baik!” 
Aku: “Aku bukan sok baik, aku memang ingin ngasi. Kamu jangan salah paham.”
Anak perempuan paling tinggi: “Kemarin kamu ngusir kami. Sekarang kami, terutama aku. Aku udah males berurusan sama kamu dan teman-temanmu lagi mbak!”
Aku:”Tenang dulu, aku bisa jelaskan semuanya. Kamu kemarin salah paham. Aku dan teman-temanku sama sekali gak bermaksud mengusir. Kami memang lagi buru-buru. Kami cuma minta kalian keluar dulu sebentar, mengijinkan kami mandi duluan baru setelah kami selesai gantian kalian yang mandi. Beneran deh sumpah kami gak ada niatan jahat. Aku dan teman-temanku minta maaf kalau kejadian kemarin menyakiti hati kalian.”
Anak perempuan berambut lurus: “Ani, aku minta jeruknya ya. ”
Ani: “Iya mbak Dewi ambil aja, ini buat mbak Fani juga.”
Anak perempuan paling tinggi: “Dewi..jangan. Awas ya kalau sampai kamu berani ambil jeruk itu!”
Dewi: “Mbak Fani jahat, Ani aja boleh!”
Fani: “Kamu ini, mulai berani sekarang sama Mbak ya. Dibilang jangan ya jangan!”
Aku: “Hey..kamu Fani kan? Udahlah Fan, jangan begitu. Aku udah bilang kan, aku dan teman-temanku gak ada niatan jahat ke kalian. Jeruk-jeruk ini memang sengaja kami berikan ke kalian. Kami Cuma ingin berbagi dan berdamai dengan kalian. Dewi..kalau kamu mau, ambil aja jeruknya. Kalau kurang bilang aja ke mbak, mbak Sisca masih punya banyak di tenda.”
Dewi: “Makasih ya mbak Sisca..”
Aku: “Heem..sama-sama...Tuh lihat Fan adik-adikmu sudah bisa menerima kami, kamu ini kenapa, apa yang salah. Segitu jeleknya kah aku dan teman-temanku sampai kamu gak mau maafin kami? Baiklah Fan…kalau gitu sepertinya kamu harus ikut ke tenda. Biar kamu tahu bagaimana kami yang sebenarnya.”
     Fani mengiyakan ajakanku, meskipun kulihat belum ada keikhlasan di wajahnya. Walaupun begitu aku tetap mengajak mereka bertiga ke tenda. Teman-temanku kaget ketika melihatku kembali bersama dengan mereka. Beberapa temanku tampak masih sebal namun beberapa lainnya juga senang atas kehadiran mereka.
Aku: “Teman-teman kenalin. Ini ada Fani, Dewi, dan Ani. Ini anak perempuan yang kemarin kita temui di sungai. Kita semua di sini sama sekali gaada niatan jahat, ya kan teman-teman?” 
Teman-teman: “Iyaa..”
Aku: “Tuh Fan, percaya, lihat deh wajah mbak-mbak di sini, mereka tersenyum semua. Gaada yang marah atau benci. Jadi sekarang mau kan maafin kami dan berteman dengan kami?”
     Pelan tapi pasti Fani mengangukkan kepalanya. Sore itu suasana di tenda kami terasa berbeda. Penuh dengan kehangatan. Es yang tadinya membeku kini telah mencair. Semua orang di dalamnya berbicang-bincang, tersenyum, dan tertawa bersama. Sepertinya kami semua juga telah lupa apa yang terjadi kemarin sore. Tiga buah jeruk dan senyuman telah berhasil merubah senja kala itu menjadi lebih indah. Dengan demikian PR ku juga telah terselesaikan dengan baik.
     Senja berganti malam, tumpukan kayu bakar di tengah wonderland kini sudah berbeda. Terdapat belasan lilin mengelilingi kayu bakar itu, disebelahnya juga terdapat tiang tinggi, berdiri tegak dengan sumbu panjang menjuntai ke bawah, dan terhubung dengan miniatur pesawat terbang yang berada di atas tiang itu. Sepertinya api unggun malam ini akan sangat dramatis.
     Malam itu aku bertugas di barisan belakang bersama teman-temanku lainnya. Gelap, hening, khidmat. Detik-detik penyalaan api unggun sudah dimulai. Tiba-tiba ada sepasang tangan yang dingin memegang dan menarik-narik tanganku. Sempat ketakutan aku dibuatnya. Ketika kulihat, Ani sudah berdiri di sampingku. Malam itu memang gelap, namun alam bersahabat. Pancaran cahaya bulan dan bintang membuatku masih mampu melihat wajah Ani dengan cukup jelas.
“Mbak Sisca, Mbak Sisca ayo ikut. Mbak Sisca ditunggu mbak Fani sama mbak Dewi di sebelah tenda sana.”
“Gak bisa sekarang Ani, nanti ya tunggu api unggunnya nyala dulu, nanti mbak ke sana.”
     Kutolak ajakan Ani, sekilas sempat kulihat ada segurat kekecewaan di wajahnya. Begitu mendengar jawabanku dia bergegas pergi. Sesungguhnya ingin sekali ku iya kan ajakannya, namun aku masih bertugas, aku tak bisa keluar dari barisan dan meninggalkan tugas seenaknya. Semoga saja Ani tidak marah, semoga dia bisa mengerti.
     “Api kita sudah menyala..api kita sudah menyala..api api api api api..api kita sudah menyala..”. Wonderland tampak sempurna malam itu. Bulan dan bintang bersinar di langit, api unggunnya menyala, terang, hangat, ditambah dengan adanya pensi kecil-kecilan. Menyenangkan bukan?. Ada yang bilang kalau kesenangan terkadang membuat lupa diri. Malam itu karena terbuai akan kesenangan di Wonderland hampir saja aku melupakan janjiku ke Ani untuk menemuinya ketika api unggun sudah menyala. Begitu kuingat kembali janji itu, tanpa membuang waktu langsung kucari mereka bertiga di sekitar tendaku. Bingo…aku menemukan mereka. Mereka melambaikan tangan ke arahku dan tersenyum.
Fani, Dewi, Ani: “Mbak Siscaaaa..”
Aku: “Hey kalian, maaf ya mbak telat ke sininya. Ada apa kok kalian pengen ketemu mbak di sini?”
Fani: “Gapapa mbak, kami pengen ngobrol sama mbak Sisca”
Dewi, Ani: “Iya mbak..”
Aku: “Haha..kalian ini. Oh ya Fan, umurmu berapa sih, kok manggil aku mbak. Bukannya kamu lebih tua dariku?”
Fani: “Enggak mbak, aku masih kelas VI SD, memang sudah seharusnya aku manggil mbak.”
Aku: “Ups..maaf ya Fan aku salah duga. Aku kira kamu lebih tua. Habisnya kamu tinggi banget sih. Aku dan teman-temanku pada kalah tinggi hehe. Kamu sekolahnya di mana?”
Fani: “Emmmm…. Aku sekolah di SD mbak tapi…”
Aku: “Sekolah di SD mana Fan, tapi apa?”
Dewi: “Mbak Fani gak sekolah mbak.”
Aku: “Fan..bener apa yang dibilang Dewi, kamu gak sekolah, kenapa Fan?”
Fani: “Iya mbak Sisca, aku terpaksa berhenti sekolah sejak kelas V. Gak ada biaya mbak. Aku harus membantu bapak ibu cari sayuran di gunung untuk kemudian dijual di pasar biar kami bisa makan dan adik-adikku tetap bisa sekolah.”
     Deg..sumpah..hancur hati rasanya ketika aku mendengarkan jawaban anak ini. Dia ingin sekolah namun tak dapat kesempatan, kemudian diusianya yang masih tergolong anak-anak, dimana seharusnya menghabiskan waktu dengan belajar mencari hal baru dan bermain dengan teman-teman sebayanya, namun ini tak berlaku untuknya, tugas orang dewasa harus dia kerjakan. Setiap hari dia harus naik turun gunung mencari sayuran kemudian menjualnya ke pasar, ditambah lagi membantu mengurus adik-adiknya yang masih kecil. Sungguh..keras sekali hidup anak ini. Dari situ aku bisa mengerti kenapa sore itu dia bereaksi demikian terhadap kami. Fani..maafkan aku. Tuhan ampuni aku yang masih suka mengeluh dan kurang bersyukur. Mataku mulai panas, sepertinya sebentar lagi air mata ini akan jatuh. Tidak tidak aku tidak boleh menangis di depan mereka. Mereka tak boleh melihatku menangis. Aku harus kuat.
     Selama beberapa detik aku terdiam, aku tidak tahu lagi harus ngomong apa, hingga Fani mencubit pipiku dengan keras dan itu membuatku meringis kesakitan.
Fani: “Mbak Sisca kok diam? Mbak aneh kalau lagi diam hahaha.”
Aku: “Aduh Fan, sakit tau!” Oh ya Dewi sekarang kelas berapa?”
Dewi: “Kelas 2 mbak.”
Aku: “Kalau Ani kelas berapa?”
Ani: “Ani kelas 1 mbak, sekolah ku sama mbak Dewi sama kayak mbak Fani. Eh mbak Sisca, mbak Sisca..”
Aku: “Iya apa?”
Ani: “Besok mbak pulang ya mbak?
Dewi: “Mbak Sisca mau pulang?”
Fani: “Mbak Sisca beneran mau pulang besok? Berarti ini malam terakhir kita? Besok mbak pergi ninggalin kami semua. Mbak gak akan kembali ke sini lagi ya?”
Aku: “Emmmmm…eh sudah malam, kalian pulang sana. Nanti dicari ibu bapak lho..”
Fani: “Jawab pertanyaan kami mbak. Kalau mbak gak jawab aku marah lagi sama mbak Sisca!”
Aku: “Iya..besok mbak pulang.”
Dewi: “Jangan pulang mbak.”
Ani: “Mbak Sisca gak boleh pulang pokoknya gak boleh.”
Fani: “Mbak, apa gak bisa pulangnya diundur 1 atau 2 hari lagi. Jangan pulang dulu mbak, kami masih ingin main sama mbak Sisca. Kami ingin belajar sama mbak Sisca.”
Aku: “Mbak Sisca sebenarnya belum ingin pulang, mbak Sisca masih ingin bermain dan belajar dengan kalian. Tapi besok mbak Sisca harus tetap pulang. Nah Fani, Dewi, Ani..ini kan sudah malam kalian cepat pulang ya.”
     Mereka menuruti perkataanku. Dari situ aku tahu hati anak-anak itu sebenarnya lembut seperti kapas namun tempaan hidup yang keras membuat hati yang lembut itu menjadi berlapis baja. Sebelum pulang sempat kulihat Fani mengusap kedua matanya. Fani menangis, kenapa, dia sedih karena hidupnya yang amat keras atau…? Banyak kemungkinan yang bisa membuatnya menangis, salah satunya mungkin kepulanganku esok hari ketika  kegiatan perkemahan ini berakhir. Jika demikian, sungguh aku tak tau besok harus bagaimana menghadapi mereka. Aku tak ingin melihat mereka menangis, aku pun tak ingin meneteskan air mataku di hadapan mereka, yang kuinginkan adalah memeluk mereka, terseyum, dan melambaikan tanganku ketika akan pergi dari tempat ini, aku juga ingin melihat mereka tersenyum seperti malam ini..Mungkinkah akan lebih baik jika besok aku tak bertemu dengan mereka? Tapi apakah aku bisa meninggalkan tempat ini tanpa pamit ke mereka? Ya Tuhan kuatkan hatiku…

25 Januari 2008
     Hari ini adalah hari terakhirku di Wonderland. Pagi ini, begitu kapalku telah melewati pulau kapuk, terbukalah kedua mataku. Keregangkan sedikit tubuhku dan aku bangun dari tidurku. Sama halnya ketika pertama kali kuinjakkan kaki di sini. Pagi ini aku ingin melakukannya sekali lagi. Aku keluar dari tenda, kemudian kupejamkan mataku, menarik napas panjang, mengeluarkannya, dan membuka mataku. Sama..semua masih sama. This is Wonderland! Tempat ini..tentu saja aku akan sangat merindukannya.
     Matahari semakin meninggi, kegiatan demi kegiatan telah dilalui. Wonderland telah kembali seperti sedia kala. Hijau dimana-mana. Langit hari ini cerah, namun bagiku langit tampak gelap, mendung dimana-mana. Mesin mobil-mobil besar sudah menyala siap membawa kami semua pulang. Dengan rasel hitam di pundak, aku berjalan mendekati kendaraan itu. Sebelum menaikinya, kulihat sekeliling Wonderland sekali lagi. Aku bersyukur 3 orang anak itu tidak muncul. Semua yang kukhawatirkan semalam tak akan terjadi. Semua sesuai rencana, PRku juga telah terselesaikan dengan baik. Namun tak kusangka ternyata semua tak berjalan semulus itu. Tiba-tiba salah seorang temanku berteriak memanggil, mengatakan bahwa ada 3 orang anak perempuan mencariku. Ternyata anak-anak itu memang ada, aku menghentikan langkahku dan mereka berlari ke tempat dimana aku berdiri.
Fani, Dewi, Ani: “Mbak Sisca..tunggu!”
Aku: “Kalian bertiga ngapain ke sini?”
Fani: “Mbak Sisca, sekali lagi kami minta maaf ya mbak udah pernah salah paham, terimakasih buat jeruknya waktu itu. Kami suka. Mbak..mbak sekarang mau pulang kan? Kami punya sesuatu buat mbak Sisca. Dewi..kasi gelangnya ke mbak Sisca.”
Dewi: “Ini buat mbak Sisca..”
Fani: “Terimalah mbak. Ini gak seberapa tapi kami ingin mbak Sisca terus mengingat kami. Jangan pernah lupakan kami ya mbak. Ingat terus pertemanan kita ini. Terimakasih mbak buat semuanya. Mbak..kalau ada waktu kunjungi kami lagi ya. Datanglah ke sini lagi. Janji ya Mbak?”
     Beberapa detik setelah kata-kata itu terucap, Fani memejamkan matanya. Titik-titik air mata mulai berjatuhan semakin lama semakin deras. Fani, dia menangis tersedu sedu di depanku demikian juga Dewi dan Ani, mereka berdua terus memegangi tanganku. Yang kutakutkan semalam terjadi juga, aku tak dapat menahan air mataku. Semua mengalir dengan sendirinya, mendung hari itu telah menurunkan hujan. Aku hanya bisa menangis, mulutku terkunci rapat. Bahkan untuk say Good Bye pun aku tak bisa. Sungguh aku tak berdaya. Tak ada hal yang bisa kulakukan. Namun aku beruntung masih bisa mengelus kepala mereka sebelum naik ke kendaraan besar itu.
  Pintu mobil besar sudah tertutup semua, perlahan mobil melaju meninggalkan Wonderland. Dari kendaraan ini kulihat ketiga temanku masih menangis, mereka berlari di belakang mobilku sambil melambaikan tangan. Secepatnya kuusap air mataku, lalu tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Semakin lama jarak antara kami semakin jauh, jauh, dan jauh. Di belokan pertama desa itu aku kehilangan mereka. Aku tak dapat melihat mereka lagi.   

28 Agustus 2016
    Tengah malam, sebuah mimpi membangunkanku dari tidur, membawaku kembali ke masa sewindu yang lalu. Hari itu, 25 Januari 2008 terakhir kalinya aku bertemu dengan mereka. Sampai saat ini, sampai cerita ini ditulis aku tak pernah bertemu dengan mereka lagi. Jangankan bertemu, dengar kabar tentang mereka pun tidak. Tahun 2013 ketika aku punya kesempataan untuk berada tak jauh dari desa itu aku sempat berkunjung ke sana. Saat itu besar harapanku untuk bisa bertemu dengan mereka lagi. Namun semua harapan itu sirna, jejak mereka tak terlihat lagi, tertutup oleh debu jalanan. Mereka benar-benar hilang. Aku sama sekali tak punya clue untuk bisa menemukan mereka. Aku tak tahu rumah mereka dimana, nama orang tua mereka siapa. Bodohnya aku, kenapa dulu tak menanyakan hal itu kepada mereka. Fani, Dewi, Ani, Aku sudah menepati janjiku untuk berkunjung ke tempat kalian lagi, aku sudah menepati janjiku untuk tetap mengingat cerita ini, pertemanan kita. Tapi maaf, aku tak berhasil menemukan kalian, aku gagal menepati janjiku untuk bertemu kalian lagi. Kalian gak marah kan sama aku?
Surat ini..aku sangat berharap kalian bisa membacanya..

Dari Mbak Sisca
Untuk Fani, Dewi, dan Ani
                Halo..bagaimana kabar kalian, baik-baik saja bukan?
Aku gak tahu kenapa ya, malam ini aku mimpiin kalian. Di dalam mimpiku kalian tampak berbeda, kalian tampak cantik dengan memakai seragam sekolah, membawa buku-buku dan tas kalian. Kalian juga tersenyum bahagia.  Aku senang melihat kalian tersenyum. Aku berharap di kenyataan kalian juga bahagia seperti itu ya.
Delapan tahun berlalu, kalian masih inget sama aku gak? Kalau bertemu denganku lagi apakah sikap kalian masih sama seperti dulu? Fani, Dewi, Ani..sekarang aku sudah berumur 21 tahun, secara fisik mungkin aku berubah, namun satu hal yang perlu kalian tahu, hatiku untuk kalian tak pernah berubah, aku tak pernah melupakan kalian. Ketika aku bermimpi tentang kalian, kalian tahu tidak begitu terbangun dari mimpi aku segera mencari buku harian lamaku, membuka lembaran-lembaran buku itu, mencari lembaran itu, lembaran di mana aku menuliskan tentang kalian. Menuliskan tentang cerita kita. Aku senang ketika bisa membacanya lagi, dari situ aku bisa tetap mengingat wajah kalian. Aku masih ingat bagaimana ekspresi kalian sewaktu kalian ngata-ngatain aku dan teman-temanku di sumber mata air sore itu. Sungguh lucunya.. haha. Aku juga ingat ketika kalian malu-malu menerima jeruk dariku dan bertemu dengan teman-temanku di tenda, aku ingat ketika malam-malam Ani menarik tanganku yang lagi bertugas. Fani juga..berani banget kamu nyubit pipiku?. Aku masih bisa ketawa kalau mengingat semua itu. Semakin kubaca hingga akhir ternyata semakin tak menyenangkan. Momen perpisahan itu….Ketika Dewi memberikan gelang itu kepadaku. Sungguh hal itu……..Eh siapa sih yang ngiris bawang di sini??? Kalian? Jadi sekarang semakin berani usil kepadaku?
Oh ya, kalian sebenarnya tinggal di mana? Kenapa dulu gak ngasi tau rumah kalian ke aku sih? Tahun 2013 aku kembali ke tempat lho, aku mencari kalian, tapi aku kehilangan jejak kalian. Mau bertanya kepada warga sekitar sana pun aku tak punya kata kunci yang jelas. Aku sudah mencoba menepati janjiku tapi gagal juga. Maafkan aku ya banyak ngecewain kalian.
Terimakasih kalian sudah datang ke mimpiku, aku senang meskipun aku gak tau apa maksud dari mimpi itu dan kenapa baru sekarang kalian datang lagi. Terimakasih turut memberikan warna dalam perjalananku, terimakasih telah mengajariku banyak hal. Terimakasih untuk 23-25 Januari 2008 nya. Kalian tenang aja, aku gak akan pernah melupakan kalian sampai kapan pun. Otakku memorinya memang terbatas, namun nama kalian sudah tercatat dalam buku harianku dan cerita pendek yang sengaja kutulis untuk kalian.  Aku sengaja menulisnya lagi supaya ketika aku mulai lupa, aku bisa membacanya lagi, jadi aku akan selalu ingat sama kalian.
Udah..gitu dulu ya aku mau lanjutin tidurku, siapa tau aku bisa ketemu kalian lagi. Kalian baik-baik di tempat kalian. Oh ya, satu lagi…kalau boleh jujur sampai sekarang aku masih percaya lho jika Tuhan ijinkan, suatu hari pasti kita bisa ketemu lagi. Kalian juga percaya akan hal itu kan?


0 comments:

Post a Comment