Baju pramuka, baju putih biru dengan
badge PMR, syal PMR, topi PMR, sabun mandi, pasta gigi, sikat gigi, handuk,
senter, obat-obatan pribadi. Yup rasanya sudah semua. Check list barang bawaan
yang sengaja kubuat beberapa hari sebelumnya juga sudah tercontreng semua, itu
tandanya
aku harus segera menutup ranselku dan bergegas untuk tidur.
Malam memang belum begitu larut,
namun rasanya malam ini aku ingin tidur lebih awal karena esok dan beberapa
hari ke depan akan menjadi hari yang melelahkan sekaligus bisa jadi menyenangkan. Sambil
menyanyikan lagu favorit, kututup ransel hitam itu. Kusempatkan berbincang
dengan Tuhan terlebih dahulu sebelum akhirnya kupejamkan mataku.
23 Januari 2008
Beberapa
mobil besar sudah berjajar rapi di depan sekolahku. Semua orang sibuk dan
tampak hectic ketika memindahkan barang bawaan ke mobil. Beberapa ada yang
memastikan apakah semua barang bawaan sudah dipindahkan dan ditata di mobil
dengan baik atau belum, bahkan ada juga yang sibuk sendiri. Ketika semua barang
bawaan sudah dipindahkan, kini secara bergantian satu per satu orang naik ke
jajaran mobil itu sesuai dengan
pembagian yang ditetapkan sebelumnya. Aku semobil dengan teman-teman dari kelas
VII calon kader PMR Madya lainnya. Ya..sebenarnya ini adalah acara perkemahan
wajib untuk kakak-kakak kelas VIII. Hanya beberapa dari kelas VII yang
diikutsertakan, yang nantinya akan bertugas sebagai tim kesehatan dan akan
menjalani prosesi pelantikan kader PMR Madya yang baru.
Brrrmmm..Brrrrmmm..suara mesin menderu-deru, roda mobil-mobil besar ini mulai berputar membawaku dan semua peserta ke tempat perkemahan itu. Menurut informasi tempat perkemahan yang kami tuju adalah sebuah desa yang cukup terpencil, berada di bawah kaki gunung, merupakan tempat bersejarah dan keramat, di sana terdapat batu dengan pola seperti anyaman bambu yang sudah ada sejak tahun 1962. Wow…cukup menarik bukan. Entah mengapa dari dulu aku memang menyukai suasana pedesaan, hutan, dan semua yang berhubungan dengan alam. Oh ya satu lagi aku suka hal-hal horror dan mistis karena hal-hal itu selalu berhasil membangkitkan adrenalin dan rasa penasaranku hehehe.
Satu jam berlalu, tibalah rombongan kami di tempat tujuan. Dengan pasti kulangkahkan kakiku keluar dari mobil. Hamparan rumput yang luas terbentang di depanku, tak jauh dari situ deretan pohon pinus tinggi berjajar rapi, dibalik pohon-pohon pinus terlihat bukit-bukit dan gunung yang indah. Semua tampak hijau, langit terlihat biru muda, matahari bersinar cerah, tak mau ketinggalan hewan-hewan hutan turut bersuara, terdengar saling bersahutan antara satu sama lain. Selama beberapa detik aku terhipnotis dengan suasana itu. Tanpa sadar kupejamkan mataku, menarik napas panjang, mengeluarkannya dan perlahan kubuka mataku. “Ya Tuhan..inikah wonderland?”
Brrrmmm..Brrrrmmm..suara mesin menderu-deru, roda mobil-mobil besar ini mulai berputar membawaku dan semua peserta ke tempat perkemahan itu. Menurut informasi tempat perkemahan yang kami tuju adalah sebuah desa yang cukup terpencil, berada di bawah kaki gunung, merupakan tempat bersejarah dan keramat, di sana terdapat batu dengan pola seperti anyaman bambu yang sudah ada sejak tahun 1962. Wow…cukup menarik bukan. Entah mengapa dari dulu aku memang menyukai suasana pedesaan, hutan, dan semua yang berhubungan dengan alam. Oh ya satu lagi aku suka hal-hal horror dan mistis karena hal-hal itu selalu berhasil membangkitkan adrenalin dan rasa penasaranku hehehe.
Satu jam berlalu, tibalah rombongan kami di tempat tujuan. Dengan pasti kulangkahkan kakiku keluar dari mobil. Hamparan rumput yang luas terbentang di depanku, tak jauh dari situ deretan pohon pinus tinggi berjajar rapi, dibalik pohon-pohon pinus terlihat bukit-bukit dan gunung yang indah. Semua tampak hijau, langit terlihat biru muda, matahari bersinar cerah, tak mau ketinggalan hewan-hewan hutan turut bersuara, terdengar saling bersahutan antara satu sama lain. Selama beberapa detik aku terhipnotis dengan suasana itu. Tanpa sadar kupejamkan mataku, menarik napas panjang, mengeluarkannya dan perlahan kubuka mataku. “Ya Tuhan..inikah wonderland?”
Sim salabim…hamparan rumput hijau di
depanku kini telah berubah, warnanya tak lagi hijau, tenda-tenda yang
mengelilinginya membuatnya lebih berwarna. Tepat di tengah terdapat tumpukan
kayu bakar, dan tak jauh dari situ bendera merah putih dan bendera pramuka
berkibar. Acara perkemahan resmi dibuka. Rangkaian kegiatan selama beberapa
hari ke depan sepertinya akan cukup melelahkan. Tapi jika berada di wonderland
seperti ini, kurasa takkan ada lagi kata lelah di kamusku.
Senja datang, matahari mulai
terbenam membiaskan warna indah kuning kecokelatan. Aku keluar dari tenda
bersama beberapa temanku. Dengan membawa peralatan mandi, kami berlari kecil
menuju sumber mata air terdekat yang telah dirubah menjadi “Luxurious Bathroom,
kamar mandi dari tenda”. Karena dikejar waktu, dengan cepat kami segera masuk
ke “kamar mandi” itu. Ketika kami masuk ada tiga orang anak perempuan di
dalamnya. Anak-anak dengan pakaian biasa, tak berseragam. Anak paling kecil
berkulit sawo matang dengan rambut keriting sebahu berwarna kemerahan, membawa
timba kecil berisikan peralatan mandi, anak yang satunya tampak lebih tinggi
dari anak yang paling kecil, kulitnya kuning langsat, rambutnya berwarna
kemerahan, lurus terurai menutupi telinganya, dia membawa 3 buah handuk mandi,
dan satu orang anak lainnya dia membawa 3 pakaian, posturnya paling tinggi,
rambutnya keriting sebahu berwarna kemerahan, kulitnya kering, sawo matang.
Jika di lihat usianya lebih tua dariku. Kehadiranku dan teman-temanku
sepertinya mengagetkan mereka dan membuat mereka jengkel.
Aku : “Maaf mengganggu
kalian, bisakah kalian keluar terlebih dahulu, aku bersama teman-temanku mau
mandi duluan, kami dikejar waktu soalnya. Boleh kan kami mandi duluan?”
Anak perempuan yang
membawa 3 pakaian: “Dasar gak tau diri ya. Aku dan adik-adikku sampai di sini
duluan. Harusnya kami yang mandi duluan. Tapi apa, kamu dan teman-temanmu
menyuruh kami untuk pergi dari sini dan melarang kami mandi di sini? Kami tahu
ini memang tenda kalian, tapi bukan berarti kalian bisa mengusir kami
seenaknya. Sebelum kalian datang, tempat ini adalah tempat mandi kami, kami
bebas mandi di sini, tapi sekarang setelah kalian datang semuanya berubah.
Kalian mengambil kebebasan kami. Kalian siapa berani ngusir kami? Ini desa kami
bukan desa kalian. Kalian di sini bisanya cuma merusak. Kalau mau lapor ke pak
Lurah laporin aja, aku gak takut. Aku malah senang kalau kalian cepat pergi
dari desa ini”.
Segera setelah mengucapkan kata-kata
itu dia mengajak kedua orang adiknya pergi. Sayup-sayup kudengar umpatan dari
mulutnya dan sempat kulihat tatapan matanya sebelum pergi, sungguh penuh
kebencian. Aku tak tahu kesalahan apa yang ada dalam ucapanku sehingga
responnya seperti itu. Entahlah..sepertinya
ini akan menjadi PR baru untukku. Berusaha mendekati mereka, meminta maaf
kepada mereka, dan mengenal mereka.
24 Januari 2008
Hari kedua di Wonderland. Hari ini
akan menjadi hari super padat dan super sibuk. Semua acara inti ada di hari
ini, mulai dari penjelajahan, prosesi pelantikan Kader PMR Madya, api unggun,
pentas seni dan lain-lain. Oke..aku harus tetap semangat dan menjalaninya
dengan senyuman. Ya meskipun kemarin senyum meterku sempat menurun karena
insiden bersama 3 orang anak tengil di sungai itu. Tapi hari ini harus lebih
semangat dari kemarin, senyumku gak boleh sampai pudar hanya karena masalah
sepele seperti itu, dan satu hal lagi hari ini PR ku harus terselesaikan dengan
baik.
“Disini senang disana senang dimana-mana hatiku senang, di sini senang disana senang dimana-mana hatiku senang la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la..”Drap…drap..drap..drap.. nyanyian, suara langkah kaki, suara tongkat pramuka menyentuh tanah meramaikan wonderland hari itu. Para penjelajah telah berhasil menjalankan misi mereka. Aku juga telah berhasil menyelesaikan tugasku dengan baik. Bersyukur sekali akhirnya aku bersama teman-temanku telah resmi menjadi Kader PMR Madya yang baru.
“Disini senang disana senang dimana-mana hatiku senang, di sini senang disana senang dimana-mana hatiku senang la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la la..”Drap…drap..drap..drap.. nyanyian, suara langkah kaki, suara tongkat pramuka menyentuh tanah meramaikan wonderland hari itu. Para penjelajah telah berhasil menjalankan misi mereka. Aku juga telah berhasil menyelesaikan tugasku dengan baik. Bersyukur sekali akhirnya aku bersama teman-temanku telah resmi menjadi Kader PMR Madya yang baru.
Sebagai
manusia biasa setelah melakukan kegiatan tentunya ada rasa lelah yang menyerbu,
karena itu usai prosesi pelantikan aku dan teman-temanku segera kembali ke
tenda, melepaskan lelah di sana dengan makan bekal bersama. Di dalam tenda
semuanya sibuk mengeluarkan bekal mereka. Ada jeruk, salak, buah buahan dari
kebun, makanan ringan dan masih banyak lagi. Sama halnya seperti mereka aku
juga mengeluarkan bekalku. Tak lama setelahnya, aku pergi ke belakang tenda
untuk mengambil tempat sampah dan merapikan perlengkapan lain yang masih berserakan
di sana. Ketika itu mataku melihat sesuatu di balik pohon besar yang letaknya
tak jauh dari tendaku. Sesosok anak perempuan kecil yang tidak asing, oh ya aku
ingat, dia anak perempuan yang kemarin kutemui di sungai, anak yang paling
kecil. Dari balik pohon besar itu kulihat dia sedang mengamati aktivitas yang
ada di dalam tendaku dari kejauhan, sepertinya dia penasaran, atau ada motif
lainnya. Entahlah...yang jelas setelah
menganalisa gerak-gerik anak itu dan mencoba menerka apa yang sebenarnya dia
inginkan, segera kuambil 3 buah jeruk dari dalam tendaku.
Aku: “Teman-teman aku
ambil 3 jeruknya ya. Makasih”
Salah seorang temanku:
“Iya ambil aja..buat apa tapi kok banyak?”
Waktu
itu tak kugubris pertanyaan temanku karena aku tahu ini adalah kesempatan
langka, jika aku tak bertindak cepat bisa jadi rencanaku gagal, PR ku tak
terselesaikan. Lagipula besok aku akan pergi meninggalkan wonderland. Kembali
ke rutinitasku sebagai seorang siswi SMP. Aku ingin semuanya selesai hari ini.
Pokoknya aku ingin ending dari perkemahan ini berakhir indah. Tak ada
kebencian, tak ada permusuhan. Perlahan kudekati anak perempuan itu. Dia
sepertinya tak menyadari kalau aku berhasil memergokinnya dan tak sadar kalau
posisiku semakin dekat dengannya.
Aku: “Dek..dek..disini
ngapain, siapa namamu ?”
Anak perempuan kecil:
“A..Ani mbak..”
Aku: “Oh Ani ya. Aku
Sisca. Aku tau kamu dari tadi melihat ke sana terus. Kamu mau ini ya?”
Ani: “Enggak mbak..”
Aku: “Udah gak usah
takut sama mbak, ini ambil semua jeruknya nya. Bagikan ke kakak-kakakmu juga.”
Kupegang tangan Ani dan kuberikan 3
buah jeruk itu kepadanya. Dia menatapku dengan penuh kepolosan dan tersenyum.
Namun itu tak berlangsung lama, ekspresinya mendadak berubah. Sepertinya dia
melihat sesuatu di belakangku. Aku pun segera menolehkan kepalaku ke belakang,
ternyata 2 orang anak perempuan lainnya sudah berada tepat di belakangku.
Aku: “Hai kalian.
Kenalkan aku Sisca. Ini aku punya jeruk buat kalian bertiga, sekarang jeruknya
ada di Ani. Kalian makan jeruknya ya.”
Anak perempuan paling tinggi:
“Gak usah sok baik!”
Aku: “Aku bukan sok
baik, aku memang ingin ngasi. Kamu jangan salah paham.”
Anak perempuan paling
tinggi: “Kemarin kamu ngusir kami. Sekarang kami, terutama aku. Aku udah males
berurusan sama kamu dan teman-temanmu lagi mbak!”
Aku:”Tenang dulu, aku
bisa jelaskan semuanya. Kamu kemarin salah paham. Aku dan teman-temanku sama
sekali gak bermaksud mengusir. Kami memang lagi buru-buru. Kami cuma minta
kalian keluar dulu sebentar, mengijinkan kami mandi duluan baru setelah kami
selesai gantian kalian yang mandi. Beneran deh sumpah kami gak ada niatan
jahat. Aku dan teman-temanku minta maaf kalau kejadian kemarin menyakiti hati
kalian.”
Anak perempuan
berambut lurus: “Ani, aku minta jeruknya ya. ”
Ani: “Iya mbak Dewi
ambil aja, ini buat mbak Fani juga.”
Anak perempuan paling
tinggi: “Dewi..jangan. Awas ya kalau sampai kamu berani ambil jeruk itu!”
Dewi: “Mbak Fani
jahat, Ani aja boleh!”
Fani: “Kamu ini, mulai
berani sekarang sama Mbak ya. Dibilang jangan ya jangan!”
Aku: “Hey..kamu Fani
kan? Udahlah Fan, jangan begitu. Aku udah bilang kan, aku dan teman-temanku gak
ada niatan jahat ke kalian. Jeruk-jeruk ini memang sengaja kami berikan ke
kalian. Kami Cuma ingin berbagi dan berdamai dengan kalian. Dewi..kalau kamu
mau, ambil aja jeruknya. Kalau kurang bilang aja ke mbak, mbak Sisca masih
punya banyak di tenda.”
Dewi: “Makasih ya mbak
Sisca..”
Aku: “Heem..sama-sama...Tuh
lihat Fan adik-adikmu sudah bisa menerima kami, kamu ini kenapa, apa yang
salah. Segitu jeleknya kah aku dan teman-temanku sampai kamu gak mau maafin
kami? Baiklah Fan…kalau gitu sepertinya kamu harus ikut ke tenda. Biar kamu
tahu bagaimana kami yang sebenarnya.”
Fani mengiyakan ajakanku, meskipun
kulihat belum ada keikhlasan di wajahnya. Walaupun begitu aku tetap mengajak
mereka bertiga ke tenda. Teman-temanku kaget ketika melihatku kembali bersama
dengan mereka. Beberapa temanku tampak masih sebal namun beberapa lainnya juga
senang atas kehadiran mereka.
Aku: “Teman-teman
kenalin. Ini ada Fani, Dewi, dan Ani. Ini anak perempuan yang kemarin kita
temui di sungai. Kita semua di sini sama sekali gaada niatan jahat, ya kan
teman-teman?”
Teman-teman: “Iyaa..”
Aku: “Tuh Fan, percaya,
lihat deh wajah mbak-mbak di sini, mereka tersenyum semua. Gaada yang marah atau
benci. Jadi sekarang mau kan maafin kami dan berteman dengan kami?”
Pelan tapi pasti Fani mengangukkan
kepalanya. Sore itu suasana di tenda kami terasa berbeda. Penuh dengan
kehangatan. Es yang tadinya membeku kini telah mencair. Semua orang di dalamnya
berbicang-bincang, tersenyum, dan tertawa bersama. Sepertinya kami semua juga
telah lupa apa yang terjadi kemarin sore. Tiga buah jeruk dan senyuman telah berhasil
merubah senja kala itu menjadi lebih indah. Dengan demikian PR ku juga telah
terselesaikan dengan baik.
Senja berganti malam, tumpukan kayu
bakar di tengah wonderland kini sudah berbeda. Terdapat belasan lilin
mengelilingi kayu bakar itu, disebelahnya juga terdapat tiang tinggi, berdiri
tegak dengan sumbu panjang menjuntai ke bawah, dan terhubung dengan miniatur pesawat
terbang yang berada di atas tiang itu. Sepertinya api unggun malam ini akan sangat
dramatis.
Malam itu aku bertugas di barisan
belakang bersama teman-temanku lainnya. Gelap, hening, khidmat. Detik-detik
penyalaan api unggun sudah dimulai. Tiba-tiba ada sepasang tangan yang dingin
memegang dan menarik-narik tanganku. Sempat ketakutan aku dibuatnya. Ketika
kulihat, Ani sudah berdiri di sampingku. Malam itu memang gelap, namun alam
bersahabat. Pancaran cahaya bulan dan bintang membuatku masih mampu melihat wajah
Ani dengan cukup jelas.
“Mbak Sisca, Mbak
Sisca ayo ikut. Mbak Sisca ditunggu mbak Fani sama mbak Dewi di sebelah tenda
sana.”
“Gak bisa sekarang Ani,
nanti ya tunggu api unggunnya nyala dulu, nanti mbak ke sana.”
Kutolak ajakan Ani, sekilas sempat kulihat
ada segurat kekecewaan di wajahnya. Begitu mendengar jawabanku dia bergegas
pergi. Sesungguhnya ingin sekali ku iya kan ajakannya, namun aku masih
bertugas, aku tak bisa keluar dari barisan dan meninggalkan tugas seenaknya.
Semoga saja Ani tidak marah, semoga dia bisa mengerti.
“Api kita sudah menyala..api kita
sudah menyala..api api api api api..api kita sudah menyala..”. Wonderland
tampak sempurna malam itu. Bulan dan bintang bersinar di langit, api unggunnya
menyala, terang, hangat, ditambah dengan adanya pensi kecil-kecilan. Menyenangkan
bukan?. Ada yang bilang kalau kesenangan terkadang membuat lupa diri. Malam itu
karena terbuai akan kesenangan di Wonderland hampir saja aku melupakan janjiku
ke Ani untuk menemuinya ketika api unggun sudah menyala. Begitu kuingat kembali
janji itu, tanpa membuang waktu langsung kucari mereka bertiga di sekitar
tendaku. Bingo…aku menemukan mereka. Mereka melambaikan tangan ke arahku dan
tersenyum.
Fani, Dewi, Ani: “Mbak
Siscaaaa..”
Aku: “Hey kalian, maaf
ya mbak telat ke sininya. Ada apa kok kalian pengen ketemu mbak di sini?”
Fani: “Gapapa mbak,
kami pengen ngobrol sama mbak Sisca”
Dewi, Ani: “Iya
mbak..”
Aku: “Haha..kalian
ini. Oh ya Fan, umurmu berapa sih, kok manggil aku mbak. Bukannya kamu lebih
tua dariku?”
Fani: “Enggak mbak,
aku masih kelas VI SD, memang sudah seharusnya aku manggil mbak.”
Aku: “Ups..maaf ya Fan
aku salah duga. Aku kira kamu lebih tua. Habisnya kamu tinggi banget sih. Aku
dan teman-temanku pada kalah tinggi hehe. Kamu sekolahnya di mana?”
Fani: “Emmmm…. Aku
sekolah di SD mbak tapi…”
Aku: “Sekolah di SD
mana Fan, tapi apa?”
Dewi: “Mbak Fani gak
sekolah mbak.”
Aku: “Fan..bener apa
yang dibilang Dewi, kamu gak sekolah, kenapa Fan?”
Fani: “Iya mbak Sisca,
aku terpaksa berhenti sekolah sejak kelas V. Gak ada biaya mbak. Aku harus
membantu bapak ibu cari sayuran di gunung untuk kemudian dijual di pasar biar
kami bisa makan dan adik-adikku tetap bisa sekolah.”
Deg..sumpah..hancur hati rasanya ketika
aku mendengarkan jawaban anak ini. Dia ingin sekolah namun tak dapat kesempatan,
kemudian diusianya yang masih tergolong anak-anak, dimana seharusnya
menghabiskan waktu dengan belajar mencari hal baru dan bermain dengan
teman-teman sebayanya, namun ini tak berlaku untuknya, tugas orang dewasa harus
dia kerjakan. Setiap hari dia harus naik turun gunung mencari sayuran kemudian
menjualnya ke pasar, ditambah lagi membantu mengurus adik-adiknya yang masih
kecil. Sungguh..keras sekali hidup anak ini. Dari situ aku bisa mengerti kenapa
sore itu dia bereaksi demikian terhadap kami. Fani..maafkan aku. Tuhan ampuni
aku yang masih suka mengeluh dan kurang bersyukur. Mataku mulai panas,
sepertinya sebentar lagi air mata ini akan jatuh. Tidak tidak aku tidak boleh
menangis di depan mereka. Mereka tak boleh melihatku menangis. Aku harus kuat.
Selama beberapa detik aku terdiam, aku tidak tahu lagi harus ngomong apa, hingga Fani
mencubit pipiku dengan keras dan itu membuatku meringis kesakitan.
Fani: “Mbak Sisca kok
diam? Mbak aneh kalau lagi diam hahaha.”
Aku: “Aduh Fan, sakit
tau!” Oh ya Dewi sekarang kelas berapa?”
Dewi: “Kelas 2 mbak.”
Aku: “Kalau Ani kelas
berapa?”
Ani: “Ani kelas 1
mbak, sekolah ku sama mbak Dewi sama kayak mbak Fani. Eh mbak Sisca, mbak
Sisca..”
Aku: “Iya apa?”
Ani: “Besok mbak
pulang ya mbak?
Dewi: “Mbak Sisca mau
pulang?”
Fani: “Mbak Sisca
beneran mau pulang besok? Berarti ini malam terakhir kita? Besok mbak pergi ninggalin
kami semua. Mbak gak akan kembali ke sini lagi ya?”
Aku: “Emmmmm…eh sudah
malam, kalian pulang sana. Nanti dicari ibu bapak lho..”
Fani: “Jawab
pertanyaan kami mbak. Kalau mbak gak jawab aku marah lagi sama mbak Sisca!”
Aku: “Iya..besok mbak
pulang.”
Dewi: “Jangan pulang
mbak.”
Ani: “Mbak Sisca gak
boleh pulang pokoknya gak boleh.”
Fani: “Mbak, apa gak
bisa pulangnya diundur 1 atau 2 hari lagi. Jangan pulang dulu mbak, kami masih ingin
main sama mbak Sisca. Kami ingin belajar sama mbak Sisca.”
Aku: “Mbak Sisca
sebenarnya belum ingin pulang, mbak Sisca masih ingin bermain dan belajar dengan
kalian. Tapi besok mbak Sisca harus tetap pulang. Nah Fani, Dewi, Ani..ini kan sudah
malam kalian cepat pulang ya.”
Mereka menuruti perkataanku. Dari
situ aku tahu hati anak-anak itu sebenarnya lembut seperti kapas namun tempaan
hidup yang keras membuat hati yang lembut itu menjadi berlapis baja. Sebelum
pulang sempat kulihat Fani mengusap kedua matanya. Fani menangis, kenapa, dia
sedih karena hidupnya yang amat keras atau…? Banyak kemungkinan yang bisa membuatnya
menangis, salah satunya mungkin kepulanganku esok hari ketika kegiatan perkemahan ini berakhir. Jika demikian,
sungguh aku tak tau besok harus bagaimana menghadapi mereka. Aku tak ingin
melihat mereka menangis, aku pun tak ingin meneteskan air mataku di hadapan
mereka, yang kuinginkan adalah memeluk mereka, terseyum, dan melambaikan
tanganku ketika akan pergi dari tempat ini, aku juga ingin melihat mereka
tersenyum seperti malam ini..Mungkinkah akan lebih baik jika besok aku tak
bertemu dengan mereka? Tapi apakah aku bisa meninggalkan tempat ini tanpa pamit
ke mereka? Ya Tuhan kuatkan hatiku…
25 Januari 2008
Hari ini adalah hari terakhirku di
Wonderland. Pagi ini, begitu kapalku telah melewati pulau kapuk, terbukalah
kedua mataku. Keregangkan sedikit tubuhku dan aku bangun dari tidurku. Sama
halnya ketika pertama kali kuinjakkan kaki di sini. Pagi ini aku ingin
melakukannya sekali lagi. Aku keluar dari tenda, kemudian kupejamkan mataku,
menarik napas panjang, mengeluarkannya, dan membuka mataku. Sama..semua masih
sama. This is Wonderland! Tempat ini..tentu saja aku akan sangat merindukannya.
Matahari semakin meninggi, kegiatan
demi kegiatan telah dilalui. Wonderland telah kembali seperti sedia kala. Hijau
dimana-mana. Langit hari ini cerah, namun bagiku langit tampak gelap, mendung
dimana-mana. Mesin mobil-mobil besar sudah menyala siap membawa kami semua
pulang. Dengan rasel hitam di pundak, aku berjalan mendekati kendaraan itu. Sebelum
menaikinya, kulihat sekeliling Wonderland sekali lagi. Aku bersyukur 3 orang
anak itu tidak muncul. Semua yang kukhawatirkan semalam tak akan terjadi. Semua
sesuai rencana, PRku juga telah terselesaikan dengan baik. Namun tak kusangka
ternyata semua tak berjalan semulus itu. Tiba-tiba salah seorang temanku
berteriak memanggil, mengatakan bahwa ada 3 orang anak perempuan mencariku. Ternyata
anak-anak itu memang ada, aku menghentikan langkahku dan mereka berlari ke tempat
dimana aku berdiri.
Fani, Dewi, Ani: “Mbak
Sisca..tunggu!”
Aku: “Kalian bertiga
ngapain ke sini?”
Fani: “Mbak Sisca,
sekali lagi kami minta maaf ya mbak udah pernah salah paham, terimakasih buat
jeruknya waktu itu. Kami suka. Mbak..mbak sekarang mau pulang kan? Kami punya
sesuatu buat mbak Sisca. Dewi..kasi gelangnya ke mbak Sisca.”
Dewi: “Ini buat mbak
Sisca..”
Fani: “Terimalah mbak.
Ini gak seberapa tapi kami ingin mbak Sisca terus mengingat kami. Jangan pernah
lupakan kami ya mbak. Ingat terus pertemanan kita ini. Terimakasih mbak buat
semuanya. Mbak..kalau ada waktu kunjungi kami lagi ya. Datanglah ke sini lagi.
Janji ya Mbak?”
Beberapa detik setelah kata-kata itu terucap, Fani memejamkan matanya. Titik-titik air mata mulai berjatuhan semakin lama semakin deras. Fani, dia menangis tersedu sedu di depanku demikian juga Dewi dan Ani, mereka berdua terus memegangi tanganku. Yang kutakutkan semalam terjadi juga, aku tak dapat menahan air mataku. Semua mengalir dengan sendirinya, mendung hari itu telah menurunkan hujan. Aku hanya bisa menangis, mulutku terkunci rapat. Bahkan untuk say Good Bye pun aku tak bisa. Sungguh aku tak berdaya. Tak ada hal yang bisa kulakukan. Namun aku beruntung masih bisa mengelus kepala mereka sebelum naik ke kendaraan besar itu.
Pintu mobil besar sudah tertutup semua, perlahan mobil melaju meninggalkan Wonderland. Dari kendaraan ini kulihat ketiga temanku masih menangis, mereka berlari di belakang mobilku sambil melambaikan tangan. Secepatnya kuusap air mataku, lalu tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Semakin lama jarak antara kami semakin jauh, jauh, dan jauh. Di belokan pertama desa itu aku kehilangan mereka. Aku tak dapat melihat mereka lagi.
Beberapa detik setelah kata-kata itu terucap, Fani memejamkan matanya. Titik-titik air mata mulai berjatuhan semakin lama semakin deras. Fani, dia menangis tersedu sedu di depanku demikian juga Dewi dan Ani, mereka berdua terus memegangi tanganku. Yang kutakutkan semalam terjadi juga, aku tak dapat menahan air mataku. Semua mengalir dengan sendirinya, mendung hari itu telah menurunkan hujan. Aku hanya bisa menangis, mulutku terkunci rapat. Bahkan untuk say Good Bye pun aku tak bisa. Sungguh aku tak berdaya. Tak ada hal yang bisa kulakukan. Namun aku beruntung masih bisa mengelus kepala mereka sebelum naik ke kendaraan besar itu.
Pintu mobil besar sudah tertutup semua, perlahan mobil melaju meninggalkan Wonderland. Dari kendaraan ini kulihat ketiga temanku masih menangis, mereka berlari di belakang mobilku sambil melambaikan tangan. Secepatnya kuusap air mataku, lalu tersenyum dan ikut melambaikan tangan. Semakin lama jarak antara kami semakin jauh, jauh, dan jauh. Di belokan pertama desa itu aku kehilangan mereka. Aku tak dapat melihat mereka lagi.
28 Agustus 2016
Tengah malam, sebuah mimpi
membangunkanku dari tidur, membawaku kembali ke masa sewindu yang lalu. Hari
itu, 25 Januari 2008 terakhir kalinya aku bertemu dengan mereka. Sampai saat
ini, sampai cerita ini ditulis aku tak pernah bertemu dengan mereka lagi.
Jangankan bertemu, dengar kabar tentang mereka pun tidak. Tahun 2013 ketika aku
punya kesempataan untuk berada tak jauh dari desa itu aku sempat berkunjung ke
sana. Saat itu besar harapanku untuk bisa bertemu dengan mereka lagi. Namun semua
harapan itu sirna, jejak mereka tak terlihat lagi, tertutup oleh debu jalanan.
Mereka benar-benar hilang. Aku sama sekali tak punya clue untuk bisa menemukan
mereka. Aku tak tahu rumah mereka dimana, nama orang tua mereka siapa.
Bodohnya aku, kenapa dulu tak menanyakan hal itu kepada mereka. Fani, Dewi,
Ani, Aku sudah menepati janjiku untuk berkunjung ke tempat kalian lagi, aku
sudah menepati janjiku untuk tetap mengingat cerita ini, pertemanan kita. Tapi maaf,
aku tak berhasil menemukan kalian, aku gagal menepati janjiku untuk bertemu
kalian lagi. Kalian gak marah kan sama aku?
Surat ini..aku sangat berharap kalian bisa membacanya..
Surat ini..aku sangat berharap kalian bisa membacanya..
Dari Mbak Sisca
Untuk Fani,
Dewi, dan Ani
Halo..bagaimana kabar kalian,
baik-baik saja bukan?
Aku gak tahu kenapa ya, malam ini aku mimpiin kalian. Di
dalam mimpiku kalian tampak berbeda, kalian tampak cantik dengan memakai
seragam sekolah, membawa buku-buku dan tas kalian. Kalian juga tersenyum bahagia. Aku senang melihat kalian tersenyum. Aku
berharap di kenyataan kalian juga bahagia seperti itu ya.
Delapan tahun berlalu, kalian masih inget sama aku gak?
Kalau bertemu denganku lagi apakah sikap kalian masih sama seperti dulu? Fani,
Dewi, Ani..sekarang aku sudah berumur 21 tahun, secara fisik mungkin aku
berubah, namun satu hal yang perlu kalian tahu, hatiku untuk kalian tak pernah
berubah, aku tak pernah melupakan kalian. Ketika aku bermimpi tentang kalian, kalian
tahu tidak begitu terbangun dari mimpi aku segera mencari buku harian lamaku,
membuka lembaran-lembaran buku itu, mencari lembaran itu, lembaran di mana aku
menuliskan tentang kalian. Menuliskan tentang cerita kita. Aku senang ketika
bisa membacanya lagi, dari situ aku bisa tetap mengingat wajah kalian. Aku
masih ingat bagaimana ekspresi kalian sewaktu kalian ngata-ngatain aku dan
teman-temanku di sumber mata air sore itu. Sungguh lucunya.. haha. Aku juga
ingat ketika kalian malu-malu menerima jeruk dariku dan bertemu dengan teman-temanku
di tenda, aku ingat ketika malam-malam Ani menarik tanganku yang lagi bertugas.
Fani juga..berani banget kamu nyubit pipiku?. Aku masih bisa ketawa kalau
mengingat semua itu. Semakin kubaca hingga akhir ternyata semakin tak
menyenangkan. Momen perpisahan itu….Ketika Dewi memberikan gelang itu kepadaku.
Sungguh hal itu……..Eh siapa sih yang ngiris bawang di sini??? Kalian? Jadi sekarang
semakin berani usil kepadaku?
Oh ya, kalian sebenarnya tinggal di mana? Kenapa dulu gak
ngasi tau rumah kalian ke aku sih? Tahun 2013 aku kembali ke tempat lho, aku
mencari kalian, tapi aku kehilangan jejak kalian. Mau bertanya kepada warga
sekitar sana pun aku tak punya kata kunci yang jelas. Aku sudah mencoba
menepati janjiku tapi gagal juga. Maafkan aku ya banyak ngecewain kalian.
Terimakasih kalian sudah datang ke mimpiku, aku senang
meskipun aku gak tau apa maksud dari mimpi itu dan kenapa baru sekarang kalian
datang lagi. Terimakasih turut memberikan warna dalam perjalananku, terimakasih
telah mengajariku banyak hal. Terimakasih untuk 23-25 Januari 2008 nya. Kalian
tenang aja, aku gak akan pernah melupakan kalian sampai kapan pun. Otakku memorinya
memang terbatas, namun nama kalian sudah tercatat dalam buku harianku dan
cerita pendek yang sengaja kutulis untuk kalian. Aku sengaja menulisnya lagi supaya ketika aku
mulai lupa, aku bisa membacanya lagi, jadi aku akan selalu ingat sama kalian.
Udah..gitu dulu ya aku mau lanjutin tidurku, siapa tau
aku bisa ketemu kalian lagi. Kalian baik-baik di tempat kalian. Oh ya, satu
lagi…kalau boleh jujur sampai sekarang aku masih percaya lho jika Tuhan
ijinkan, suatu hari pasti kita bisa ketemu lagi. Kalian juga percaya akan hal
itu kan?
0 comments:
Post a Comment